Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Jumat, 28 September 2012

cerita Manis, Harum dan Lembut.


http://www.ceritamu.com/HBC/files/9e/9e6c5e92-6b78-4ee6-89b7-54789e23273b.jpg

Manis, Harum dan Lembut.

Diceritakan tentang seorang pemuda, ketika bepergian terbiasa menyapa dan mengajak bicara yang duduk disebelahnya. Tentu saja jika seseorang itu merasa tidak terganggu olehnya. Suatu ketika dia bertemu dan berbicara dengan Ibu tua renta ketika sama-sama ingin pergi ke Singapore. Ibu tua tersebut hanya berpakaian sederhana dan memakai sendal jepit dan tampak udik.
Sang pemuda mengira, mungkin Ibu ini ingin bekerja seperti TKI yang mengadu nasib di negeri orang. Obrolan pun berlangsung. Dengan hati-hati sang pemuda memulai bertanya.

“Ibu hendak ke mana??”
“Singapura Nak.” senyum ibu bersahaja.
“Akan bekerja atau…..?”
“Bukan Nak. Anak Ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu Ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka.”
“oh, putra Ibu sudah lama bekerja disana??”
“Alhamdulillah, Lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe…yang jelas di sana jadi Arsitek.”
Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat.
“Oh iya, putra Ibu ada berapa??”
“Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini, yang nomor dua. Yang Nomor tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang Nomor empat sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa.”
“Masya Allah. Luar biasa. Alangkah bahagia menjadi Ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali pada Ibu yang berhasil mendidik mereka.”
Si pemuda mengerjap mata dan mendecakkan lidah.
Si Ibu mengangguk-angguk dan berulangkali berucap “ALhamdulillah”. Lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Oh iya, maaf Bu…bagaimana dengan putra Ibu yang pertama?”
Si Ibu menundukkan kepala. Sejenak tangannya memainkan sabuk keselamatan. Lalu dia tatap lekat-lekat si Pemuda.


“Dia tinggal di Kampung Nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani, meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan Bapaknya.”
Ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang menegakkan kepala.
Si Pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.
“Maaf bu, jika pertanyaan saya menyinggung Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama Ibu sebagaimana putra-putra Ibu yang lain.”
“Oh tidak Nak. Bukan begitu! Ibu justru sangat bangga pada Putra pertama Ibu itu. Sangat-sangat bangga!”. Sambil menepuk-nepuk pundak si Pemuda dengan mata berbinar seolah pemuda itulah anak pertamanya.
“Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati, dan mengirimi surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti yang sekarang ini.” Sang Ibu terisak.
Sunyi. Tak ada kata
***
Dapat kita simpulkan sendiri hikmah dari cerita tersebut.
Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
tapi Allah tiada berhenti menyediakannya untuk kita
seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari,
dan kicau burung yang mendamai hati
jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan
bersiaplah untuk di Ijabah lebih dari apa yang kita mohonkan
sumber : buku dalam dekapan ukhuwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman